Feeds:
Posts
Comments

Berkunjung ke Australia, tidak lengkap rasanya tanpa mengunjungi Opera House sebagai landmark kota Sydney yang dijuluki pula sebagai kota pelabuhan (harbour city). Saat penulis berada selama sebulan (november-desember 2015) di kota ini, dunia dikejutkan dengan tragedi berdarah di Paris (11/11/2015). Berbagai solidaritas dan simpati berbagai negara dan masyarakat dunia mengalir deras dalam berbagai bentuk dan ungkapan. Termasuk pencahayaan gedung-gedung terkenal di dunia dengan warna biru, putih dan merah. Ketiga warna itu adalah warna dari bendera Perancis sebagai makna simbolik dan simpatik terhadap korban berdarah dalam serangan bersenjata di Paris (Paris Attact).

Sydney Opera House juga memancarkan cahaya bendera Perancis di malam hari sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan tersebut. Apalagi dalam tragedi Paris, salah satu dari korban luka merupakan wanita Australia berusia 19 tahun, Ema Grace Parkinson. Pesan simbolik melalui pencahayaan gedung, bukanlah pertama kali dilakukan pengelola Sydney Opera House. Berbagai peringatan acara besar, konser, dan peristiwa lainnya juga dimeriahi dengan pencahayaan teknologi LED 3 (tiga) dimensi.

Sebagai salah satu situs warisan dunia UNESCO, Opera House memiliki keunikan, bukan hanya dari arsitektur khasnya yang berbentuk kerang atau layar-layar kapal pesiar (yatch) yang berlabuh. Namun,  gedung ini sekaligus menjadi pusat kebudayaan bagi para seniman di negara ini, baik seni pertunjukan teater, tari dan lainnya. Di samping itu, gedung yang didesain oleh John Utzon asal Denmark ini, juga telah menjadi magnit yang menarik jutaan pelancong mancanegara untuk mengunjungi  kota Sydney, Australia. Infrastruktur wisata di kota Sydney sangat lengkap. Di sekitar pelabuhan kota, dilengkapi dengan aneka fasilitas dan destinasi wisata lainnya yang ditawarkan kepada para pengunjung. Mulai dari Sydney Harbour Bridge, The Darling Harbour, the Sydney Tower, Australian National Maritime Museum, Sydney Sealife Aquarium, sampai wisata Whale Watching, yaitu berlayar ke sebuah kawasan laut untuk menyaksikan habitat ikan Paus dari atas kapal dengan harga tiket sebesar 65 dollar Australia.

Berdirinya Opera House dan berbagi ikon atau destinasi wisata di wilayah ini merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk menjadikan kota Sydney sebagai representasi komoderenan Australia. Pemerintah kota Sydney, telah lama menyusun visi kota sampai 2030 sebagai kota hijau, global dan terhubung (green, global and connected). Dalam menggapai keberlanjutan Sydney 2030 (sustainable Sydney), pemerintah setempat telah menyusun rencana strategis kota dengan keterlibatan masyarakat (community engagement) dan pemangku kepentingan (stakeholder) untuk secara bersama merancang dan menginformasikan perencanaan dan implementasi visi kota tersebut dalam 10 arah strategis. Pertama, menjadi kota yang inovatif dan kompetitif secara global. Kedua, menjadi kota penggerak pelestarian lingkungan hidup terkemuka. Ketiga, membangun transportasi yang terintegrasi untuk sebuah kota yang terhubung. Keempat, menjadi kota bagi para pejalan kaki (pedestarian) dan pembawa sepeda (cyclist). Kelima, menjadi pusat kota yang selalu semarak dan atraktif. Keenam, menjadi kota yang kuat bagi ekonomi dan masyarakat atau komunitas lokal. Ketujuh, menjadi kota budaya dan kreatif. Kedelapan, membangun perumahan bagi berbagai kelompok masyarakat. Kesembilan, menjadi kota yang memiliki rancangan pembangunan dan pembaharuan yang berkelanjutan. Kesepuluh, melaksanakan pemerintahan kota yang efektif dan terjalinnya kemitraan.

Pendekatan pemerintah pada keterlibatan masyarakat dalam membangun visi kota Sydney yang berkelanjutan, juga dibarengi dengan 4 (empat) prinsip, yaitu integritas, keterbukaan, dialog dan membangun. Dengan adanya keempat prinsip tersebut, pemerintah kota Sydney berkomitmen untuk memastikan bahwa keterlibatan tersebut tepat waktu, dapat diakses, terencana dan bermakna. Pemerintah kota juga melakukan aktifitas pelibatan masyarakat dalam mengatasi berbagai rintangan partisipasi publik dan membangun kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi dalam membuat kebijakan. Di samping itu, pemerintah kota juga memberikan tanggapan atau umpan balik kepada masyarakat atas kotribusi dari keterlibatan mereka. Termasuk melakukan penalaahan dan evaluasi secara bersama-sama dengan masyarakat tentang efektifitas strategi-strategi keterlibatan tersebut.

Visi kota Sydney dan implementasinya melalui rencana strategis dan prinsip-prinsip yang disebutkan di atas, secara nyata telah penulis rasakan manakala hadir di tengah-tengah kota ini dan berinteraksi dengan beberapa kelompok atau komunitas masyarakat. Pemerintah kota ini sangat siap menanti kedatangan berbagai imigran yang berdatangan dari berbagai negara dengan berbagai karakteristik identitas dan kebudayaan bawaan. Semua imigran yang mengelompok menjadi komunitas, diberikan ruang untuk berpartisipasi dalam proses perumusan kebijakan. Hal ini bertujuan untuk memastikan segala arah kebijakan tersebut bermanfaat bagi komunitas tersebut. Pelibatan berbagai komunitas di wilayah ini juga bertujuan untuk memperkuat dasar pemahaman dan bekerja secara bersama-sama untuk membangun kota, sehingga akan tercapai keberlanjutan kota Sydney 2030.

Kesuksesan kota Sydney dalam visi dan rencana strategis yang dibuat pemerintah setempat, dapat dijadikan masukan sekaligus pelajaran bagi pemerintah di Indonesia, baik di tingkat provinsi, kotamadya, maupun kabupaten. Pertama, visi kota sangatlah penting dirumuskan dengan melibatkan partisipasi masyarakat, sehingga visi kota adalah visi bersama, tidak mengenal siapa yang memimpin dan waktu kepemimpinannya. Kedua, visi kota harus dijabarkan dalam rancangan strategis yang juga melibatkan berbagai komponen masyarakat, sehingga capaian visi tersebut dapat dilaksanakan. Ketiga, membangun landmark atau ikon kota sangatlah penting bagi kekhasan sebuah kota, karena bangunan tersebut menjadi simbolisasi peradaban sebuah wilayah. Seperti halnya Opera House yang menjadi simbol komoderenan Australia.

 

 

Jasa penyewaan mobil dan sepeda motor merupakan hal biasa dalam masyarakat kita. Namun, penyewaan sepeda dayung tentu menjadi hal yang jarang ditemukan di sekitar kita. Apalagi jika harus membayarnya dengan kartu kredit atau tanpa uang kontan. Di kota Montreal, Canada, musim summer lalu dikejutkan dengan hadirnya sebuah sistem baru sepeda umum atau Montreal’s public bike system. Sepeda ini dinamakan dengan Bixi yang untuk pertama kalinya diperkenalkan di Canada.

Sepeda Bixi yang juga sangat populer di Eropa ini bentuknya tidak jauh berbeda dengan sepeda pada umumnya. Hanya saja, sepeda inovasi baru ini dilengkapi dengan sebuah sistem komunikasi wireless yang bertenaga surya atau  solar – powered wireless communication system, sistem anti pencuri dan teknologi GPS yang dapat memantau keberadaan sepeda di manapun si penyewa bixi mendayungnya. Penyedia layanan sewa ini dapat memantau keberadaan sepeda setiap saat.

Di samping itu, untuk menyewa sepeda Bixi, pengguna diharuskan memiliki kartu kredit yang digesek di tempat pangkalan-pangkalan pembayaran sepeda Bixi secara otomatis. Dari pengalaman saya menyusuri jalanan Montreal, setiap pangkalan Bixi biasanya terdapat sepuluh sampai dua belas sepeda. Pangkalan ini juga dapat dengan mudah ditemui, karena letaknya yang strategis dan selalu berada di daerah-daerah keramaian, pinggiran taman-taman kota, kampus dan area-area pemberhentian bus. Penyewa pun dapat menentukan sendiri berapa lama menggunakan sepeda Bixi dan berapa tarif yang harus dibayar. Singkat cerita, semuanya dilakukan secara online dan otomatis. Gesek kartu kredit anda, sepeda pun akan terbuka kuncinya dan siap anda kendarai menyusuri lorong-lorong kota.

Siang itu, saya baru saja keluar dari ruang kuliah. Sambil melirik jarum jam di tangan kiri, tiba-tiba hasrat minum kopi timbul. Segera saya berjalan menuju Tim Hortons di kantin kampus, lalu antri menunggu giliran sambil sekali-kali melihat aneka makanan lain di ruang itu. Ketika tibanya giliran saya memesan, terpampang secarik kertas yang ditempel dengan tulisan “Save 20 cent, bring your own mug, save the environment and save a penny.” Tulisan itu mengisyaratkan, saat membeli minuman, bawalah cangkir atau mangkok sendiri. Himbauan ini bukan hanya menghemat uang kita 20 cent ketika membayar, tetapi juga bentuk kepedulian terhadap lingkungan.

Bulan lalu, 22 April 2009, dunia memperingati hari bumi yang pertama kali dipelopori 39 tahun lalu oleh Gaylord Anton Nelson di Amerika Serikat. Banyak negara, lembaga, dan institusi pendidikan merayakan hari itu dengan dengan beragam benetuk. Mulai dari kampanye lingkungan, menanam pohon, sampai himbauan mematikan lampu selama satu jam. Di Kanada sendiri, kampanye penyelamatan lingkungan juga menjadi isu sentral yang selalu menjadi perhatian utama negara dan masyarakatnya.

Berbagai tema dan slogan untuk mencintai alam dikemas dengan sebaik dan semenarik mungkin, seperti Go Green, Save the Planet, and Plan a Tree. Bukan hanya itu, lembaga-lembaga pendidikan yang berbasis lingkungan juga berdiri, dari tingkat kanak-kanak sampai dewasa. Seperti ecokids yang mengembangkan pendidikan sekolah anak berbasis lingkungan. Di tengah-tengah masyarakat Kanada juga memiliki aturan membuang sampah, dengan memisahkan sampah yang organic, non organic, dan sampah yang recycle. Fenomena ini telah menjadi budaya tersendiri bagi masyarakat Kanada, apalagi diperkuat dengan aturan yang ketat, dikontrol dan diawasi bersama-sama oleh masyarakat dan pemerintah. Membawa gelas ke kampus, merupakan contoh kecil bagaimana mencintai alam dengan secangkir kopi. Bagaimana dengan lingkungan anda saat ini?

Tanggal 26 Desember merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh warga dunia yang tergabung dalam negara-negara Commonwealth, seperti Inggris Raya, Selandia baru, Australia dan juga Kanada. Hari itu dikenal dengan nama “Boxing Day” yang merupakan hari libur nasional. Dalam sejarahnya, Boxing Day awalnya hanya sebuah perayaan tradisional pada abad pertengahan, yang secara kultural setiap orang kala itu tergerak hatinya untuk memberikan hadiah yang dibungkus dengan kotak (box) kepada para pekerja, orang-orang miskin dan kelompok-kelompok sosial yang berada di kelas bawah.

Seiring perkembangan zaman, tradisi “Boxing Day” ini berubah dari akar sejarahnya. Di Kanada, tempat tinggal saya saat ini, Boxing Day bisa dikatakan sebagai hari Discount terbesar tahunan. Betapa tidak, saat hari ini tiba semua supermarket dan gerai-gerai elektronik menurunkan harga termurah, seperti Future Shop, Best Buy, Wallmart, The Source. Begitu pula gerai-gerai kecil lainnya. Aneka iklan dan promosi ditampilkan dan disebarkan pada semua orang. Bentuk-bentuk promosi dengan “Boxing Day Sale”, “Boxing Week Sale’, “Crasher Shop”, “Amazing Price” memancing konsumen untuk turut juga memburu barang-barang belanjaan.

Bukan hanya itu, para pembelipun rela antri berjam-jam. Bahkan diantara mereka ada yang mulai antri pukul 6 pagi, padahal toko akan dibuka pukul 1 siang. Termasuk saya yang juga antri dari mulai jam 10, agar dapat membeli Canon, Digital Camera Super Shoot 10 MP.

Negara lainnya seperti Inggris, perayaan “Boxing Day” juga mengalami perubahan kebudayaan yang cukup berarti. Bahkan Boxing Day disana lebih dikenal sebagai hari berolahraga. Padahal dalam sejarah Inggris, setiap tanggal 26 Desember itu merupakan hari dimana orang melakukan tradisi berburu rubah (fox hunting). Tradisi berburu kini telah menjelma menjadi tradisi sepak bola, balap kuda dan kriket. Untuk itu, tak mengherankan jika sepak bola di hari Boxing Day benar-benar menjadi sorotan semua orang, bahkan media di sana mempublikasikan secara besar-besaran setiap pencetak gol dan pemenang di Liga Inggris pada tanggal 26 Desember. Ini sekaligus menandakan bahwa hari tersebut benar-benar bukan hanya sekedar mitos, tetapi juga merupakan hari keberuntungan bagi setiap orang.

Hari libur memang mempunyai makna tersendiri bagi yang merayakannya. Seiring perkembangan zaman dan budaya manusia, perubahan nilai-nilai yang terkandung di balik hari-hari itu juga tak dapat dihindari. Begitulah sejarah, adakalanya bertahan dan ada pula yang harus berubah, seperti tradisi “Boxing Day”.

Ada kenangan tersendiri saat tinggal di Kanada, terutama ketika menikmati perubahan musimnya. Negeri ini dikenal dengan beragam musim, yaitu Fall, Winter, Spring dan Summer. Fall adalah musim diantara Summer dan Winter, biasanya terjadi pada akhir September hinggai akhir Desember. Winter adalah musim salju diantara Fall dan Spring, biasanya mulai pada akhir Desember dan berakhir pada akhir Maret. Spring sendiri adalah musim diantara Winter dan Fall, biasanya mulai akhir Maret dan berakhir pada akhir Juni. Sedangkan Summer adalah musim panas diantara Spring dan Fall yang mulai sejak akhir Juni dan berakhir di akhir September.

Fall adalah musim yang punya nilai tersendiri bagi warga Kanada. Ketika musim ini tiba, dedaunan berubah warna hingga gugur dari dari dahannya. Bisa dibayangkan, daun yang awalnya hijau, kemudian berubah menjadi aneka warna, ada yang kuning keemasan, merah muda, ada juga perpaduan antara kuning dan merah, sungguh indah dipandang mata.

Suatu waktu, istri saya pernah bertanya, “apa beda Fall dengan Autumn, kenapa tidak disebut Autumn saja atau sebaliknya?” Pertanyaan inilah yang mengundang saya mencari jawabannya. Padahal kedua istilah tersebut mempunyai arti yang sama, yaitu musim gugur. Akhirnya, dari sejumlah informasi yang ditelusuri, ternyata kedua istilah itu pun masih dalam perdebatan. Umumnya menyatakan bahwa istilah Fall itu digunakan bagi negara yang saat musim gugur, daun pepohonannya berubah dengan berbagai warna, seperti di Kanada. Sedangkan Autumn, digunakan bagi negara yang dedaunan pohonnya tidak berubah beragam warna. Pandangan lainnya juga menyatakan bahwa istilah Fall itu berasal dari UK, sedangkan Autumn berasal dari Amerika.

Terlepas dari multitafsir tersebut, yang jelas musim Fall bagi saya dapat dikatakan sebagai musim dengan sejuta warna. Keindahan warna-warni itu bagai goresan tinta warna dalam sebuah lukisan. Sejauh mata memandang, pohon-pohon Maple dan pohon-pohon lainnya secara alami berubah dan akhirnya gugur perlahan-lahan dari dari dahannya. Sulit membayangkan kenapa daun-daun tersebut bisa berubah warna sedemikian indahnya. Siapa yang menggoreskan warna tersebut? Tak ada bisa yang menjawabnya bukan? Mungkin itulah sisi lain dari kekuasaan Ilahi yang membuat kita semakin percaya pada-Nya.

Selamat Idul Fitri 1429 H

Jarum jam di pergelangan saya menunjukkan pukul 16.15 sore, perlahan-perlahan bus Orleans Express yang mewah itu berhenti di St Foy Station. Hari itu, 09 Agustus 2008, pertama kali saya menginjakkan kaki di Quebec city. Kehadiran saya di salah satu provinsi Canada ini adalah sebagai peserta dalam konferensi dunia “World Library and Information Congress: 74th IFLA General Conference and Council.” Kongres dunia yang diadakan setahun sekali ini bertemakan “Libraries without borders: Navigating towards global understanding,” berlangsung selama 4 hari pada 10-14 August 2008.

Di sela-sela konferensi yang padat itu, saya menyempatkan diri menyusuri sudut-sudut kota Québec yang juga dijuluki sebagai La Belle Province (wilayah yang indah). Ada satu pemandangan unik yang baru kali ini saya lihat, yaitu lalu lalangnya bus mungil yang bernama Ecolobus. Bus ini merupakan bahagian dari sistem transportasi yang ada di kota Quebec. Di Indonesia, bus mungil ini mungkin lebih mirip dengan angkutan mini kota “Kijang” atau “Carry”. Bedanya, Ecolobus ini bodinya dirancang seperti bus besar dan bahan bakarnya pun bersumber dari energi listrik. “Bus ini setiap beberapa jam sekali dicas, karena pake baterai,” kata Gege, teman Indonesia asal Bandung yang sedang kuliah di Laval University, Quebec.

Dari sejumlah informasi yang saya telusuri, si mungil Ecolobus ini ternyata dapat berjalan hanya 100 km/charge dan diservis cukup seminggu sekali. Harga satu unit bus ini terbilang mahal, yaitu $ 400.000, sekitar 400 jutaan. Menariknya, meskipun bus ini berbahan bakar listrik, namun saat Winter tiba, tidak menghalanginya ini untuk melayani para penumpang menyusuri jalanan kota Quebec. Di samping itu, Bus yang diproduksi di Italy ini juga dapat menampung 31 penumpang baik duduk maupun berdiri.

Di belahan kota-kota Eropa saat ini memang sedang populer mengembangkan teknologi bus-bus nya (tecnobus) yang tentunya zero-emision, tidak berdampak pada lingkungan dan pemanasan global, juga bahan-bahan bakarnya diperoleh dari sumber-sumber energi terbaru. Salah satu teknologi yang digunakan itu adalah transportasi berteknologi baterai (battery technology), seperti Ecolobus yang kini mulai digunakan oleh pemerintah Canada di Quebec.

Kota-kota yang berpolusi seperti Indonesia, tentu sudah saatnya mencoba dan memikirkan transportasi yang nonpolusi seperti Ecolobus ini. Apalagi kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan daerah lainnya yang saban hari dipenuhi polusi yang bukan hanya berdampak pada kesehatan manusia, tetapi juga pada masa depan bumi yang semakin tua ini.

Sabtu, 2-3 Mei 2008 yang lalu. Saya sekeluarga –yang baru saja datang ke Montreal– meluangkan waktu selama dua hari bertamasya ke Toronto Niagara Fall. Dengan mengambil paket tour dari Wonder Travel Montreal, kami sekeluarga benar-benar menikmati perjalanan ini. Berangkat mulai jam 7.30 pagi dari Montreal, siangnya singgah di 1000 Island, sebuah kawasan yang terdapat ratusan pulau kecil diantara perbatasan Canada dan America. Saat tiba disini, kami mengarungi perairan pulau-pulau itu dengan kapal “Rock Port”, sambil melihat lebih dekat beberapa pulau yang berdiri castle kuno, gedung-gedung dengan arsitektur klasik, dan beberapa villa mewah dengan fasilitasnya yang lengkap. Sejauh mata memandang, tak ada satu pulaupun yang tak terisi dengan bangunan.

Selepas makan siang, kami melanjutkan perjalanan ke Toronto, kota bisnis teramai di Canada. Pertama sekali, kami mampir di CN Tower, salah satu menara tertinggi di dunia. Lalu beranjak ke gedung parlemen “city hall Toronto” dan berakhir perjalanannya di Ontario, daerah tempat Niagara Fall berada. Esoknya, setelah semalam menginap di sebuah hotel, paginya rombongan tour berangkat ke Skylon Tower. Melihat Niagara Fall dari tower ini, sebuah pengalaman indah yang sulit dilupakan. Betapa tidak, di puncak Skylon tower ini, kita dapat menyaksikan secara lengkap hamparan 2 Niagara Fall yang berada di perbatasan Canada dan Amerika.

Saat berada di puncak Skylon Tower inilah, hati kami semakin berdebar-debar, tak sabar memandang Niagara Fall lebih dekat. Setelah turun dari Skylon Tower, akhirnya rombongan tour meluncur ke Niagara Fall. Saat turun dari bus, mata kami pun tak lepas untuk memandang Niagara Fall, perasaan takjubpun terpancar dalam hati kami, sungguh luar biasa keindahan air terjun raksasa tersebut. Kabarnya, air Niagara fall ini merupakan bahagian dari sumber danau-danau besar (Great Lakes) dari kelompok lima danau besar di Amerika Utara di atau dekat perbatasan Kanada-Amerika Serikat.

Yang tak kalah seru dan menariknya di Niagara fall ini adalah ketika mengikuti petualangan kapal “Maid of the Mist.” Kapal ini membawa kita berjalan lebih dekat di bibir Niagara Fall dan menikmati semburan air Niagara fall secara langsung. Dengan mendaftar, para peserta diberikan semacam baju hujan, agar tidak terlalu basah saat berada di semburan air terjun Niagara.

Perjalanan dua hari itu benar-benar mendebarkan sekaligus mengesankan. Niagara Fall bukan hanya menyimpan keindahan dunia yang menyumbang devisa untuk negara Canada dan Amerika. Tetapi kedua negara ini juga memikirkan dan mendisain kelestarian alam dan lingkungan di kawasan Niagara Fall. Buktinya, uang pembayaran tiket dari para wisatawan yang menikmati kapal Maid of the Mist, secara langsung didonasikan untuk pembangunan Niagara Park. Jika hal ini terwujud, wisatawan tidak hanya menyaksikan keajaiban niagara fall, tetapi juga nantinya menikmati keindahan alam buatan Niagara Park. Intinya, alam bukan hanya sebagai sumber uang, tetapi alam juga menjadi sumber inspirasi bagi manusia untuk selalu berempati pada kelestariannya. Inilah pengalaman sekaligus pelajaran yang patut dipikirkan bagi kita semua. Subhaanallaah.

FOTO-FOTO PERJALANAN DAPAT DILIHAT DI http://www.flickr.com/photos/26569750@N05/ atau http://www.flickr.com/photos/26568041@N05/

Di Indonesia, suatu hari saya pernah membaca sebuah ulasan berita di sebuah koran nasional tentang sistem transportasi massal (mass transportation) di negara-negara maju. Beritanya menyiratkan betapa tertibnya sistem transportasinya, terintegrasi, simpel, dan cepat. Memang benar, di negara-negara maju, kita dapat menikmati transportasi dengan baik, seperti yang saya alami saat ini di Montreal, Canada. Transportasi massalnya dikenal dengan nama Metro. Nama Metro kalau di Indonesia selalu identik dengan nama-nama Mall, Cafe, bahkan sebuah koran di Bandung juga bernama Metro Bandung, selain itu juga nama televisi swasta “Metrotv” dan sebagainya. Metro di Montreal adalah sejenis kereta api listrik yang berada di bawah tanah (underground) dan menghubungkan beberapa stasiun pemberhentian.

Metro tersebut, mulai berjalan dari jam 5.30 pagi sampai jam 12.30 malam. Jalur kereta listrik bawah tanah ini berada di bawah pusat kota Montreal. Bayangkan saja, kalau di pusat kota Jakarta dengan gedung pencakar langit, di bawahnya ada kereta listrik berjalan, begitulah kira-kira gambarannya. Untuk naik Metro, tiket yang dijual ada yang harian, mingguan, dan bulanan. Terserah penumpang memilihnya, kalau orang yang mobilitasnya banyak atau rutin setiap hari, biasanya membeli tiket berbentuk kartu voucher per bulan seharga 66.25 dollars. Dengan memegang tiket ini, kita bisa pergi kapan saja dan kemana saja, tidak perlu membayar lagi. Tiap stasiun berhenti 1-3 menit dan tepat waktu, lalu berangkat lagi. Bagitu pula dengan sistem bus-bus nya, jika menggunakan bus, maka kita tinggal mengambil tiket terusan (gratis) pada saat di stasiun Metro dalam bentuk kertas kecil. Sejauh pengalaman ini, saya memandang bahwa transportasi di Montreal memang sangat teratur. Bus berhenti hanya di tempat pemberhentian atau halte khusus, dan saat kita menunggu di halte, kita berdiri antri lurus, tidak langsung menerobos naik bus. Bukan hanya itu, bus pun mempunyai jadwal tersendiri, sebelum kita antri, kita bisa melihat jam dan menit dari bus-bus yang akan berhenti.

Gambaran ini tentu berbeda dengan kondisi transportasi massal di Indonesia. Jakarta misalnya, dulu pernah ada ide subway, yaitu kereta bawah tanah yang menghubungkan jabotabek, tetapi sampai saat ini ide tersebut tak muncul lagi. Sekarang, hanya busway yang bisa kita banggakan, meskipun juga ada sedikit kekurangan, misalnya bus-bus yang terhubung dengan stasiun busway belum menyatu, sehingga kalau orang naik busway, mereka harus ke wilayah yang ada stasiun buswaynya dulu dan harus beli tiket lagi. Sedangkan di Montreal, setiap jalur busnya, selalu berhubungan dengan stasiun metro, dan tiketnya sudah menyatu. Mungkin generasi Indonesia ke depan, sudah saatnya memikirkan dan merancang sistem transportasi massa yang menyatu dan nyaman. Kapan ya?

Awal puasa Ramadhan, September 2007 lalu, saya mendapat kesempatan melanjutkan studi di McGill University, Montreal, Canada. Studi ini disponsori oleh CIDA (Canadian International Development Agency). Sayangnya, saya harus meninggalkan keluarga, istri dan anak tercinta di Banda Aceh. Perjalanan saya dari bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar, menuju Jakarta, dan selanjutnya terbang ke Montreal, Canada. Penerbangan ini memakan waktu hampir 32 jam, singgah di bandara Hongkong, bandara Anchourage, Alaska, Amerika, dan bandara Toronto sampai akhirnya berhenti di bandara Trudeu, Montreal.

Inilah perjalanan pertama saya keluar negeri. Banyak kesan yang dapat saya tulis di galeri ini. Ketika transit di bandara Hongkong, misalnya, saya begitu terpesona dengan luas bandaranya, juga fasilitas moderen yang tersedia. Saya sempat naik kereta listrik untuk pindah ke terminal lain. Memang Hongkong luar biasa, seperti yang pernah saya dengar sebelumnya sebagai wilayah yang paling ramai dikunjungi dan disinggahi orang.

Sungguh perjalanan ini melelahkan. Saat transit di bandara Alaska, USA, pemeriksaan para penumpang sangat ketat, semua penumpang diambil sidik jari dan difoto, mungkin begitulah pengamanan Amerika terhadap orang-orang yang hanya singgah beberapa menit. Di bandara Alaska, saya menyaksikan sekelilingnya terhampar gunung-gunung Alaska yang terkenal itu. Saat terbang lagi ke Toronto, bandaranya juga hampir sama seperti Hongkong, saya juga pindah dari terminal satu ke terminal lainnya dengan kereta listrik. Terakhir, tiba tengah malam di bandara Montreal, saat itu sedang musim hujan, dan bandara sangat sepi.

Di bandara Montreal, saya dan teman-teman disambut oleh dua orang teman mahasiswa Indonesia yang kuliah S1 dan S2 di McGill University. Montreal memang kota yang indah, bersih, tertib dan teratur. Kotanya ada nuansa pegunungan dan sungai-sungai besar, dan yang khas dari negeri saya berpijak ini adalah pohon Maple yang terbentang di sepanjang jalan dan di taman-taman.